Pada hari Minggu, 26 Februari 2023 saya mengikuti kegiatan Rapat Kerja bersama para srikandian Ibu Profesional Bekasi. Setelah sebelumnya didahului dengan acara serah terima amanah dan dilanjut dengan rapat kerja melalui zoom secara daring. Pada sesi daring sudah ada pembahasan program kerja dari masing-masing komponen, mulai duari Kampung Komunitas, Sejuta Cinta, Himpunan Mahasiswa, Sister Regional, KIPMA dan Lumbung Ilmu. Kali ini sesi luring digunakan sebagai media diskusi untuk membuat sinergi kegiatan antar komponen. Sekitar dua pekan sebelumnya, saya dihubungi oleh panitia dari Sisreg atau sister regional dan diminta hadir sebagai host atau MC. Kegiatannya semi formal dengan lebih banyak interaksi diskusi dan improvisasi kegiatan secara umum. Sesi pembukaan dilanjutkan dengan sambutan dan prakata dari sekretaris regional yang membahas tentang alur administasi ke sekreg dari masing-masing komponen. Setiap komponen harus mengisi form jika ingin mengadakan kegiatan, baik kegiat...
Medan, 04 November 2017
#Day3
Anak pertama saya, Raissa adalah yang paling sering ribut dengan saya. Entah apa masalahnya, dia selalu saja menangis. Entah bagaimana juga, setiap kali dia menangis, saya akan langsung emosi dan marah. Sudah sering sekali saya sampaikan padanya dengan bahasa yang halus, "Nduk, kalau ingin sesuatu, ngomong sama bunda. Kalau sedih atau marah, bilang sama bunda. Kalau kamu nangis, bunda nggak ngerti". Kata-kata ini, meski bisa dipahami adiknya yang berusia 3 tahun, tetapi tak pernah bisa dimengerti oleh Raissa yang 5 tahun. Saya sering juga menyampaikan dengan cara lain, agar dia bicarakan saja keinginannya tanpa harus menangis.
Semua cara itu seolah tak ada pengaruhnya sama sekali padanya. Dia terus saja menangis setiap hari, dan tidak akan berhenti selama paling tidak 30 menit. Itupun dengan berbagai bujukan saya yang ujung-ujungnya berakhir dengan kemarahan saya.
Seperti pagi ini, Raissa mendorong dipan kasur sehingga mengenai kaki adiknya, dan luka. Adik Hasna pun menangis dengan sekencang-kencangnya.
"Kak, tolong ambilkan minyak tawon di dekat tv, tolong cepat" kata saya
"Gak tahu bunda sebelah mana" katanya
"Di bawah tv nak, tolong adik kasihan" kata saya, sambil beranjak mau ambil sendiri.
"Nih, yang besar aja ya" kata Raissa.
"Iya, makasih kak"
Setelah tangis adik reda, saya memintanya meminta maaf pada adik.
"Minta maaf ya, sama adik" pinta saya.
"Nggak mau" katanya
"Adik kasihan lho kak, lihat kakinya sakit" Raissa hanya diam saja.
"Bilang adik, maaf ya dik kakak nggak sengaja. Meski kakak nggak sengaja, meski kakak nggak sengaja, kakak tetep salah" kata saja
Lalu dia melotot dan pergi. Karena saya kesal tidak berhasil membujuknya, jadi saya diamkan saja. Lalu Raissa menangis sendirian.
Makin lama, tangisnya makin kencang. Lalu saya panggil dia, "Kak, udah-udah nangisnya, sini peluk bunda". Dia masih enggan. Saya bujuk-bujuk akhirnya mau mendekat.
"Bunda kakinya diluruskan" katanya
"Bunda tangannya begini, kakinya begini" Dia mulai menyuruh-nyuruh saya lagi seperti biasa jika dia menangis. Di sini saya mulai kesal. Jadi saya pergi meninggalkannya. Tetapi dia mengikuti, menarik-narik dan mengatakan hal-hal yang makin membuat saya kesal.
"Bunda biasanya baik, ini nggak baik. Bunda nggak mau dekat-dekat kakak. Bunda nggak sayang kakak. Minta peluk aja gak boleh." Cercanya sambil menangis.
Saya mencoba memeluknya, tetapi dia menghindar. Katanya bukan begini peluknya.
"Bunda suka marah-marah, bunda gak sayang, dulu biasanya bunda sayang" kata Raissa berulang-ulang.
Saya sungguh kesal, berat menahan diri untuk tidak marah. Saya pergi ke dapur untuk menghindar, karena setiap kali saya mendengar ocehannya saya merasa makin marah. Saya merasa yang dia katakan tidak menghargai perjuangan saya mencoba menuruti dan mengerti dia.
Setelah saya diamkan dan saya abaikan, Raissa akhirnya mau berhenti. Mungkin karena dia juga capek, karena menangisnya sudah cukup lama. "Bunda ngomonglah, aku mau minta maaf ni. Aku capek ni." Katanya.
Akhirnya saya tawarkan pelukan, dan dia menyambutnya.
"Kenapa sih, kakak nangis marah-marah terus?" tanya saya
"Nggak tahu!" jawabnya
Sementara saya membiarkannya, dan Raissa kembali bermain seperti biasa. Lama setelahnya, saya kembali bertanya. "Tadi, sebenarnya Raissa marah karena apa sih".
" Aku maunya bunda kalau ngomong pelan-pelan" katanya. Padahal seingat saya, saya sudah pelan-pelan ketika menyuruhnya minta maaf.
"Coba contohin gimana seharusnya bunda ngomong" pinta saya. Lalu dia bicara dengan berbisik.
"Itu namanya berbisik, kalau berbisik bisa capek ngomongnya nanti" kata saya
"Bunda coba lebih pelan ya ngomongnya, tapi kakak jangan nangis terus" tawar saya.
Ternyata, putri pertama saya ini jauuuuhhhh lebih sensitif dari perkiraan saya. Banyak hal yang mungkin buat saya sepele bisa membuatnya marah dan sedih. Sepertinya saya harus belajar lebih banyak lagi untuk bersabar dan berkomunikasi dengannya.
#Hari3
#GameLevel1
#tantangan10hari
#KomunikasiProduktif
#KuliahBunsayIIP
#Day3
Anak pertama saya, Raissa adalah yang paling sering ribut dengan saya. Entah apa masalahnya, dia selalu saja menangis. Entah bagaimana juga, setiap kali dia menangis, saya akan langsung emosi dan marah. Sudah sering sekali saya sampaikan padanya dengan bahasa yang halus, "Nduk, kalau ingin sesuatu, ngomong sama bunda. Kalau sedih atau marah, bilang sama bunda. Kalau kamu nangis, bunda nggak ngerti". Kata-kata ini, meski bisa dipahami adiknya yang berusia 3 tahun, tetapi tak pernah bisa dimengerti oleh Raissa yang 5 tahun. Saya sering juga menyampaikan dengan cara lain, agar dia bicarakan saja keinginannya tanpa harus menangis.
Semua cara itu seolah tak ada pengaruhnya sama sekali padanya. Dia terus saja menangis setiap hari, dan tidak akan berhenti selama paling tidak 30 menit. Itupun dengan berbagai bujukan saya yang ujung-ujungnya berakhir dengan kemarahan saya.
Seperti pagi ini, Raissa mendorong dipan kasur sehingga mengenai kaki adiknya, dan luka. Adik Hasna pun menangis dengan sekencang-kencangnya.
"Kak, tolong ambilkan minyak tawon di dekat tv, tolong cepat" kata saya
"Gak tahu bunda sebelah mana" katanya
"Di bawah tv nak, tolong adik kasihan" kata saya, sambil beranjak mau ambil sendiri.
"Nih, yang besar aja ya" kata Raissa.
"Iya, makasih kak"
Setelah tangis adik reda, saya memintanya meminta maaf pada adik.
"Minta maaf ya, sama adik" pinta saya.
"Nggak mau" katanya
"Adik kasihan lho kak, lihat kakinya sakit" Raissa hanya diam saja.
"Bilang adik, maaf ya dik kakak nggak sengaja. Meski kakak nggak sengaja, meski kakak nggak sengaja, kakak tetep salah" kata saja
Lalu dia melotot dan pergi. Karena saya kesal tidak berhasil membujuknya, jadi saya diamkan saja. Lalu Raissa menangis sendirian.
"Bunda kakinya diluruskan" katanya
"Bunda tangannya begini, kakinya begini" Dia mulai menyuruh-nyuruh saya lagi seperti biasa jika dia menangis. Di sini saya mulai kesal. Jadi saya pergi meninggalkannya. Tetapi dia mengikuti, menarik-narik dan mengatakan hal-hal yang makin membuat saya kesal.
"Bunda biasanya baik, ini nggak baik. Bunda nggak mau dekat-dekat kakak. Bunda nggak sayang kakak. Minta peluk aja gak boleh." Cercanya sambil menangis.
Saya mencoba memeluknya, tetapi dia menghindar. Katanya bukan begini peluknya.
"Bunda suka marah-marah, bunda gak sayang, dulu biasanya bunda sayang" kata Raissa berulang-ulang.
Saya sungguh kesal, berat menahan diri untuk tidak marah. Saya pergi ke dapur untuk menghindar, karena setiap kali saya mendengar ocehannya saya merasa makin marah. Saya merasa yang dia katakan tidak menghargai perjuangan saya mencoba menuruti dan mengerti dia.
Setelah saya diamkan dan saya abaikan, Raissa akhirnya mau berhenti. Mungkin karena dia juga capek, karena menangisnya sudah cukup lama. "Bunda ngomonglah, aku mau minta maaf ni. Aku capek ni." Katanya.
Akhirnya saya tawarkan pelukan, dan dia menyambutnya.
"Kenapa sih, kakak nangis marah-marah terus?" tanya saya
"Nggak tahu!" jawabnya
Sementara saya membiarkannya, dan Raissa kembali bermain seperti biasa. Lama setelahnya, saya kembali bertanya. "Tadi, sebenarnya Raissa marah karena apa sih".
" Aku maunya bunda kalau ngomong pelan-pelan" katanya. Padahal seingat saya, saya sudah pelan-pelan ketika menyuruhnya minta maaf.
"Coba contohin gimana seharusnya bunda ngomong" pinta saya. Lalu dia bicara dengan berbisik.
"Itu namanya berbisik, kalau berbisik bisa capek ngomongnya nanti" kata saya
"Bunda coba lebih pelan ya ngomongnya, tapi kakak jangan nangis terus" tawar saya.
Ternyata, putri pertama saya ini jauuuuhhhh lebih sensitif dari perkiraan saya. Banyak hal yang mungkin buat saya sepele bisa membuatnya marah dan sedih. Sepertinya saya harus belajar lebih banyak lagi untuk bersabar dan berkomunikasi dengannya.
#Hari3
#GameLevel1
#tantangan10hari
#KomunikasiProduktif
#KuliahBunsayIIP
Comments
Post a Comment