Jarum jam mulai bergerak
ke angka 5, sebentar lagi suara yang dinantikan semua orang akan terdengar.
Tangan ini tak lagi mau bergerak, monitor-monitor di sekelilingku mulai
dimatikan satu per satu. Aku tahu, sebaris manusia di sampingku dan sebaris
lainnya di depanku, dan kuyakin berbaris-baris di belakangnya sedang berdag dig
dug ria dengan jantungnya masing-masing. Menanti sesuatu anugerah di penghujung
hari.
“Teeeettt…. Teetttt….”
Akhirnya bel yang ditunggu berbunyi juga. Separuh penghuni ruangan ini bergegas
keluar dan berdesakan di pintu kecil yang merupakan pintu keluar terdekat
menuju parkiran motor. Yup, mereka-mereka ini adalah geng Teng-Go. Begitu Teng,
langsung Go. Yah, meskipun bunyi bel pulang di kantor kami bukan Teng. Tapi
Teettt… seperti bel istirahat anak SD saja.
“Mbak, mau bareng gak?”
tanya Dodo menghancurkan khayalan sore hariku. Dodo adalah anak buahku, dia
lebih tua 2 tahun dariku. Tetapi di kantor dia memanggilku mbak, karena
menurutnya Bu terlalu tua.
“Enggak, gue mau
olahraga sore.” Jawabku sekenanya. Karena sore itu aku berencana pulang agak
malam, mau download film. Lumayan pakai internet kantor kan gak kerasa.
Aku memang bekerja di
kantor, tapi sebenarnya ini adalah pabrik. Letaknya di tengah kawasan industri
yang jaraknya bisa 2 km ke jalan besar. Untuk keluar kawasan sepulang kerja,
biasanya aku mencari tebengan, atau naik ojek. Jika sedang sial, dan ojek tak
ada yang masuk kawasan, terpaksalah aku jalan kaki.
Well, mau pengumuman dulu
nih, aku masih jomblo, jadi kalau hari sabtu aku sering masuk kantor hanya
untuk nonton drama, download film, atau streaming drakor. Wkwkwk… maklum,
temen-temen kosku pada punya pacar, gak seru aja jadi obat nyamuk di kos-kosan
gara-gara para pasangan irit yang gak mau keluar duit buat jalan, tapi malah
memanfaatkan ruang tamu kosan yang gratisan.
“Kukuriyuukkk…
kukuriyukk..” Ah, ayam siapa pula itu berkokok di jam segini. Subuh juga belom.
Kupaksakan diri sambil membelalakkan mata, bentar lagi Adzan. Sekalian aja
sholat dulu deh, nanti tidur lagi. Begitu rencanaku pagi itu. Malangnya, aku
lupa menyalakan alarm, alhasil aku tergopoh-gopoh keluar rumah dan berlari
mengejar tukang ojek. Jangankan sarapan, mandipun aku tak sempat. Entah kenapa
para ojek yang kulewati sudah ada yang memiliki. Di saat seperti ini, aku
mengutuk kejombloanku yang menyiksa ini. Andai saja aku punya pacar, pastinya
dia akan menanti di bawah jendela kamarku untuk mengantarkanku ke tempat
kerjaku.
Setelah berlarian
sepanjang 500 meter hingga keringat bercucuran di tubuhku yang belum terkena
air ini, akhirnya ada bang ojek yang menatapku dengan iba dan membiarkanku
membonceng sepeda motornya. Pasti sebagian kalian bertanya-tanya, kenapa enggak
pakai ojek online saja. Well, asal kalian tahu, ojek konvensional masih banyak
yang butuh pelanggan, dan mereka bisa ditemukan sepanjang jalan, tinggal naik
aja. Biasanya aku cuma perlu bayar lima ribu rupiah untuk sampai ke depan
pabrik. Sedangkan ojek online sepuluh ribu rupiah, itupun nunggunya lama karena
di area tempat kerjaku armadanya masih sedikit.
Singkat cerita,
sampailah aku di kantor. Suara lagu sayup-sayup mulai terdengar, aduh senamnya
udah mulai. Kurapatkan sepatuku, kusingsingkan lengan baju dan bersiap berlari
mengejar lagu. Aku harus masuk ruangan sebelum lagu itu berakhir jika tak ingin
kena tegur. Setiap pagi, seluruh karyawan di pabrik maupun di kantor harus
melakukan senam singkat sebelum mulai bekerja di pagi hari. Agak lucu memang,
tapi itulah salah satu budaya di kantorku. Di hari biasa, kami cukup melakukan
senam di sekitar tempat duduk, khusus di hari Jum’at, seluruh karyawan harus
ikut senam di aula besar yang letaknya di tengah-tengah pabrik. Sudah semacam
flash mop aja deh pokoknya.
“Evita Cahya Razzani,
loe lari lagi yak.” Pak Ben, bosku menegurku.
“Iya Pak, maap
kesiangan.” Sahutku memasang muka melas.
“Hhh… ya udah, rapi-rapi
sana. Jam 10 kita meeting sama Imori.” Pak Ben mendesah sambil memaklumi
tingkahku yang konyol dan gak ada anggun-anggunnya meski aku satu-satunya
perempuan di Departemen ini. Aku bekerja di bagian Purchase, tapi khusus menangani transaksi luar negeri. Jadi
sehari-hari aku berhubungan dengan Supplier dari Asia dan sekitarnya.
Hari Jum’at pagi, hari
favoritku diantara 5 hari kerja dalam seminggu. Karena ini waktunya Jum’at bersih.
Yes, loe gak salah baca. Setelah senam bersama di aula Pabrik, setiap hari Jum’at,
satu orang dari setiap Departemen harus melaksanakan Jum’at bersih, yaitu
berjalan keliling Pabrik, Taman, dan seluruh area luar gedung untuk mengambil
sampah-sampah yang berserakan. Pabrik kami tidak punya banyak OB ataupun tukang
kebun, bahkan sebagian besar pekerjaan bersih-bersih dilakukan oleh
masing-masing orang. Jadi tidak aneh kalau melihat ada yang menyapu atau
mengelap meja di area kerjanya sendiri. Meski spanduk menjaga kebersihan ada di
mana-mana, tetap saja setiap Jum’at berkeliling, kami tetap menemukan
sampah-sampah. Sebenarnya di setiap Departemen sudah ada pembagian jadwal untuk
Jum’at bersih, tetapi aku selalu menawarkan diri menggantikan rekan yang sedang
banyak kerjaan atau sedang malas saja berjalan keliling berpanas-panasan. Aku
sendiri menyukainya, karena ini kesempatanku mengobrol dengan staf bagian
operasional produksi yang biasanya lumayan-lumayan. Hihihi. Tetiba aku melihat
wajah yang tak biasa ikut berkeliling.
“Pak Pipin, itu siapa?”
tanyaku pada salah seorang staff pabrik.
“Anak Safety yang baru,
namanya Rafisqy. Gantiin mas Yasa.” Pak pipin menjawab pertanyaanku.
Mas Yasa adalah staf
bagian safety, kami cukup dekat karena aku sering ke perpustakaan pabrik yang
letaknya di area kerja Departemen Safety. Dia sering membantuku mempelajari tentang
sertifikasi ISO dan lainnya. Tetapi bulan lalu dia memutuskan untuk resign
karena ingin kuliah lagi.
“Hei, kenalan. Namaku
Evita, panggil aja Razza.” Dengan santainya aku mengajak berkenalan. Ini sih
enaknya ikut Jum’at bersih, bisa ngobrol santai meski sambil mungutin plastik
bungkus permen.
“Jauh amat buk, kayak
Cikarang tapi Bekasi.” Wah, ngocol juga ni anak batinku. Kalau dilihat lihat
sih kayaknya umurnya gak beda jauh sama aku, anggep seumuran ajalah ya. Obrolan
kamipun berlanjut hingga selesai acara Jum’at bersih dan berakhir dengan
bertukar nomor WA.
Tanpa sadar kami sering
bertemu di hari Jum’at dan melanjutkan obrolan melalui pesan singkat. Hari
berlalu dan kurasa kami makin dekat. Akupun pernah beberapa kali diantarnya
pulang.
Meski begitu, statusku
tetaplah jomblo, dan aku masih sering menghabiskan waktu main internet di luar
jam kantor. Hingga di suatu Sabtu pagi, aku terbangun setengah syok. Sepertinya
aku meninggalkan sesuatu di kantor karena tadi malam aku pulang kemalaman demi
nonton Drama Goblin. Segera kurapikan tempat tidurku, mandi dan masak mie
instan untuk sekedar mengisi perut. Lalu bergegas naik angkot yang dilanjut dengan
ojek menuju ke pabrik. Biasanya jika pergi ke pabrik di hari Sabtu, aku memilih
berjalan kaki dari depan kawasan ke pabrik. Selain irit ongkos, aku juga
sekalian berolahraga pagi. Tetapi kali ini aku punya misi yang lebih penting.
Sesampainya di pos satpam, aku sekedar menyapa security yang sebagian besar
sudah mengenalku dan berjalan cepat menuju ruanganku. Itu dia, berada di sudut
kantor di dekat jendela, berdiri dengan kokoh dan percaya diri. Mesin Fotocopy.
Kuhampiri ia dengan
segera, takut ada orang lain yang lebih dulu tiba. Kugenggam tumpukan kertas
yang ada di sana, tapi kusadar, aku kehilangan lembar pertama. Tak kusangka ada
dia, berjongkok di bawah mesin fotocopy sambil menggenggam selembar kertas
bertuliskan “JAKARTA UNDERCOVER”.
“Eh, punyamu ya Razza?
Sorry tadi ini jatuh waktu aku mau fotocopy lembar instruksi K3 buat area
finishing.” Oh, No….. ada Rafisqy, dan dia memergokiku memakai mesin fotocopy
yang juga printer untuk kepentingan pribadi. Lebih parahnya dia tahu judul
novel yang aku cetak di mesin itu.
“Iiiya, anu tapi aku
biasanya enggak baca ginian kok. Cuma karena penasaran aja, udah lama rame tapi
aku belum baca.” Jawabku tergagap sambil berusaha memaksakan senyum.
“Eh, ya udah aku duluan
ya.” Aku bergegas mengakhiri obrolan sebelum dia membahasnya lebih lanjut.
Ahh… bodoh sekali aku,
ini benar-benar tragedi yang memalukan. Bisa-bisanya aku kepergok sama Rafisqy.
Bagaimana aku akan menghadapinya esok hari. Sepertinya aku kualat karena
memanfaatkan fasilitas kantor dengan semena-mena.
Setelah kejadian
memalukan itu, aku tak lagi menawarkan diri untuk Jum’at bersih. Aku belum siap
bertemu Rafisky. Hingga suatu hari, selepas sholat Ashar di Masjid pabrik, dia
menghampiriku.
“Udah lama nggak
barengan Jum’at bersih ya kita.” Katanya membuka obrolan.
“Oh, iya gue lagi males
aja, ada banyak kerjaan juga.” Aku memberi alasan.
“Nanti sore a
pertandingan footsal, tim Admin lawan Tim Pabrik. Kamu ikut nonton kan?”
Ah iya, aku dapet jatah
beli cemilan lagi, mau kabur aja rasanya.
“Mau pergi bareng?”
lanjut Rafisqy.
“Enggak usah, aku mau
mampir beli cemilan sama minum dulu soalnya.”
“Gak papa, aku anter sekalian. Kamu gak bawa motor kan. Aku tunggu di luar gerbang ya.” Katanya sembari pergi meninggalkanku, tak memberiku kesempatan untuk menjawab.
Begitulah, kami mulai
berhubungan kembali. Rafisqy bersikap biasa, seolah tak pernah ada kejadian
apa-apa. Dia membuatku tertawa setiap kali kami bersama. Kurasa, aku tak perlu
lagi menghabiskan waktu senggangku di kantor untuk menonton film, atau memakai
mesin Fotocopy untuk mencetak novel online. Kini aku punya teman untuk bertukar
pesan konyol sambil makan krupuk. Atau sekedar menghabiskan minggu pagi dengan
jogging bareng dan foto-foto di pinggir danau. Aku masih jomblo, tapi sekarang tak
lagi semenyedihkan dulu, tak lagi semenyiksa dulu. Karena aku tahu, banyak hal
lain yang bisa kulakukan dan lebih bermanfaat bagi tubuh dan jiwaku.
TAMAT
Comments
Post a Comment