Pernah gak sih, berada dalam suatu
kondisi yang tidak sesuai dengan harapan kita? Apa sih yang sering kita dengar,
kita pikirkan, dan kita tumbuhkan dalam diri kita pada kondisi demikian? Yup, Positif
Thinking, mencoba berpikir positif. Menghadapi kondisi tidak ideal, membuat
kita berusaha bersikap dan berpikir positif. Mencari hikmah baik di setiap
situasi yang kita alami. Bersikap positif ini sangat membantu agar kita bisa
bangkit dari keterpurukan. Membantu mengatasi stress, memperbaiki hubungan,
meningkatkan kepercayaan diri. Tetapi bagaimana jika sikap positif itu berubah
menjadi Toxic atau racun yang
malah akan membahayakan diri kita, maupun keluarga kita.
Apa sih toxic positivity
itu? Kenapa pikiran positif malah menjadi racun? Secara sederhana, sepemahaman
saya dari berbagai sumber baik bacaan bebas di internet maupun dari rekan yang
mengenyam pendidikan psikolog, Toxic Positivity adalah emosi positif
yang tidak sehat, yang membuat kita tetap berpikir positif apapun yang terjadi,
sehingga kita mengabaikan kesehatan mental. Hal ini bisa terjadi ketika kita
menolak emosi negatif yang sehat. Toxic positivity yang terjadi terus
menerus selama bertahun-tahun, berpotensi membentuk keyakinan irasional, bahkan
bisa berujung pada depresi.
Emosi positif yang tidak sehat
ini bagaimana sih? Jadi begini, emosi yang sehat tidak selalu hanya terdiri
dari emosi positif, tetapi juga terdiri dari emosi negatif. Ketika kita menolak
emosi negatif, maka kita akan berakhir dengan emosi positif yang harmfull
atau membahayakan.
Contoh:
- Masa pandemi sekarang ini
mengharuskan kita membatasi aktivitas di luar rumah. Termasuk menjaga anak-anak
tetap di rumah. Konsekuensinya, anak-anak lebih banyak bermain game atau
menonton tayangan online di handphone atau laptop. Kita berpikir “Enggak
apa-apa deh anak-anak main internet seharian, yang penting mereka tidak
merengek minta keluar dan tetap tenang di rumah.”
- Saat ini semua anak sekolah
dari rumah, sehingga tidak sedikit orang tua yang memindahkan anaknya untuk Homescholling.
Kita melihat rekan kita tidak lagi menyekolahkan anaknya di sekolah formal. Dia
yang tanpa asisten rumah tangga mampu mengurus rumah dan ketiga anaknya yang homescholling,
bahkan tetap aktif di komunitas-komunitas. Kita berpikir “Dia aja bisa, kita
juga pasti bisa”. Padahal kenyataannya, kita tidak mampu melakukan itu. Kita berakhir
menyalahkan diri sendiri dan tertekan karena ekspektasi tidak tercapai.
- Budaya orang tua kita dahulu,
sering membandingkan anaknya dengan anak lain yang lebih berprestasi. Secara
tidak sadar, orang tua menanamkan pada anaknya “Kamu pasti bisa juara
matematika, si A saja anaknya Pak H bisa menang lomba olimpiade. Jika kamu
belajar tekun, pasti kamu juga bisa menang olimpiade.” Pada awalnya niat orang
tua adalah memotivasi anak agar lebih giat belajar. Cara ini mungkin berhasil,
mungkin juga tidak sangat bergantung pada si anak sendiri. Apakah ia mampu
menghadapi hal itu, apakah itu hal yang disukainya. Jika hal seperti ini terus
menerus ditanamkan pada diri anak, selama bertahun-tahun, bisa jadi dia akan
menganggap itu suatu standar yang tidak rasional bahwa dia harus bisa menang
dalam setiap lomba, atau dia harus bisa mengalahkan semua anak-anak lain. Hal
ini berpotensi menyebabkan depresi pada diri anak ketika dia mengalami
kekalahan atau prestasinya lebih rendah dari anak lainnya.
Demikianlah berbahayanya sebuah
pikiran positif yang tidak pada tempatnya. Sehingga kita harus waspada, adalah toxic
positivity pada diri kita, atau keluarga kita. Pada akhirnya, kita perlu
menerima emosi negatif yang sehat, sehingga tidak selalu bersikap positif
padahal seharusnya kita bersikap sebaliknya.😊
#KLIPFebruari2021
Comments
Post a Comment