Rambutnya berwarna merah cerah dengan tekstur ikal yang berulir seperti rumpun bunga brokoli. Tubuhnya tak terlalu teinggi, pun tak terlalu pendek, sedang saja. Kulitnya berwarna coklat tua laiknya seragam Pramuka. Setiap hari ia berkeliling ke hutan, sungai, gunung, bukit dan banyak tempat lainnya yang dirasa menarik olehnya. Orang desa menyebutnya Si Petualang. Terkadang berhari-hari ia tak pulang ke rumah mungilnya yang terletak di ujung desa.
Pada suatu pagi, ia bersiap
memasukkan bahan makanan, tali, kain lebar yang akan ia jadikan alas tidur,
pisau, botol berisi air, dan perlengkapan lain ke dalam tas ranselnya. Dia
dikenal pendiam, hidup sendiri di sebuah desa kecil. Tak ada yang tahu kemana
orang tua atau keluarganya yang lain. Usianya masih cukup belia, pemuda 16
tahun ini hidup sendiri dan mencari uang dengan berjualan tanaman obat herbal
yang ia temukan di hutan selama berpetualang.
Si pemuda petualang sangat
menyukai alam, ia merasa nyaman berada di sekitar hewan-hewan yang ia temui. Suara
kicau burung yang terdengar di pagi hari, deru air sungai yang mengalir sudah
cukup membuatnya tersenyum bahagia. Karenanya, meski memiliki rumah yang nyaman
untuk berlindung dari panas dan hujan, ia tetap menyempatkan diri berkeliling
dan menikmati tinggal di hutan. Makan seadanya yang tersedia di alam. Sembari
mencari jamur langka, alang-alang, bawang hitam, daun kelelawar, dan tanaman
herbal lain yang bisa dia temukan dalam perjalanannya.
Suatu siang si petualang duduk-duduk di pinggir sungai sambil menikmati indahnya gumpalan-gumpalan awan
di langit. Tanpa disadari matanya tertuju kepada seekor binatang kecil bercorak kuning kecoklatan di pohon perdu di pinggir sungai. Dia mengeluarkan semacam benang berwara putih yang kemudian dipintalnya berkeliling membentuk jaring. Berkali-kali dia terjatuh dan jaringnya rusak. Tetapi dia merayap lagi dan mengulangnya kembali. Terjatuh lagi, rusak lagi, dan dia memintalnya lagi. Terus menerus dilakukannya hingga setelah beberapa saat, jaring itupun selesai dibuat.
Si pemuda petualang memperhatikan apa yang dilakukan laba-laba itu dengan seksama. Selama ini dia tak lagi memiliki ambisi untuk melakukan apapun demi hidupnya. Dia hanya mencari uang secukupnya untuk sekedar bisa makan. Semenjak kedua orang tuanya meninggal di usianya yang masih sangat belia, tak ada seorang keluargapun yang menjaganya. Dia hidup menyendiri di ujung desa, karena tak ingin ada seorangpun yang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada keluarganya. Menjalani hidup sendirian sudah cukup sulit baginya, tak perlu ditambah ingatan akan kehilangan yang menimpanya.
Laba-laba yang terus bekerja keras dan pantang menyerah dalam membuat sarang, membuat si pemuda petualang sadar. Dia tak boleh menyerah dengan hidupnya, dia harus berusaha lebih keras untuk memperbaiki kehidupannya. Sudah cukup beberapa tahun yang dia habiskan berkelana tanpa tujuan hanya untuk mengisi kekosongan hatinya. Kali ini dia harus mulai untuk bermimpi, dan berusaha keras mencari jalan untuk menggapai mimpi itu.
Si petualang bergegas membereskan barang-barangnya dan berjalan kembali menuju rumahnya. Di pikirannya sudah banyak rencana yang ingin dilakukannya. Pertama-tama dia harus mencari pekerjaan di kota. Sebagai modal untuk bersekolah, karena dia tahu pendidikan adalah jalan yang harus dia tempuh sebagai modal untuk mengubah nasibnya.
#KLIPMaret2021
Comments
Post a Comment